Infomedia– Saat ini banyak wanita Muslim bekerja. Di Jakarta, setiap hari hilir-mudik dari wilayah penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi menuju pusat-pusat perkantoran di Jakarta. Beragam mode kendaraan umum mengantarkan mereka, baik arah berangkat maupun pulang. Macetnya jalanan menuju Jakarta setiap pagi, dipenuhi kendaraan bermotor nan sebagian besar di antaranya ialah kaum wanita.
Namun, ada sebagian orang nan kemudian merasa bahwa praktik berjalan semacam itu tidak betul menurut keyakinan. Lantaran, setelah mereka mengikuti kajian-kajian keyakinan Islam, berjalan tanpa mahram ialah perbuatan nan dilarang dalam aliran keyakinan. Mereka mendengar bahwa ada sebuah sabda nan diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW berfirman, “Janganlah seorang wanita berjalan sejauh perjalanan sehari semalam selain berbareng dengan mahramnya.” (HR. Tirmidzi).
Kita semua menyaksikan bahwa para pekerja wanita di Jakarta nyaris tidak ada nan diantar pasangan alias mahram mereka. Mereka biasa berjalan sendiri, baik untuk bekerja alias keperluan lainnya. Mereka bisa mengendarai motor alias mobil, alias menggunakan kendaraan umum nan kondusif.
Persoalan ini pernah disampaikan kepada Syekh Prof. Dr. Ali Jum’ah. Mufti Agung Darul Ifta’ Mesir pada tahun 2009. Dalam fatwa nomor 17708 itu, disebutkan pertanyaan nan masuk ke lembaga fatwa tertua tersebut; “Seorang penanya bertanya tentang seorang wanita nan berjalan tanpa mahram? Apakah ini diperbolehkan dalam Syariah?”
Syekh Ali Jum’ah dalam fatwa nan diterbitkan tanggal 30 Juni 2009 mengatakan;
يجوز للمرأة أن تسافر بدون مَحرَم بشرط اطمئنانها على الأمان في سفرها وإقامتها وعودتها، وعدم تعرضها لمضايقات في شخصها أو دِينها.
“Seorang wanita boleh berjalan tanpa mahram asalkan dia dijamin bakal keamanan dalam perjalanan, tempat tinggal dan kepulangannya, dan bahwa dia tidak mengalami pelecehan dalam pribadi alias agamanya.”
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa wanita berangkat kerja sendiri tanpa diantar mahram ialah perkara nan diperbolehkan. Dengan syarat perjalanan nan dilakukan ialah perjalanan nan kondusif, pulang dan pergi, serta diyakini tidak ada nan bakal melecehkan nilai diri maupun agamanya.
Fatwa Syekh Ali Jum’ah ini bukan tanpa dasar. Beliau mendasarkan pada sebuah sabda,
فقد ورد عنه صلى الله عليه وآله وسلم فيما رواه البخاري وغيره عن عَدِيّ بن حاتم رضي الله عنه أنه قال له: «فَإنْ طَالَتْ بِكَ حَياةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينةَ؛ أي: المسافرة تَرتَحِلُ مِنَ الحِيرةِ حَتَّى تَطُوفَ بالكَعْبَةِ لَا تَخافُ أَحَدًا إلَّا اللهَ»، وفي رواية الإمام أحمد: «فَوَالَّذِي نَفْسِي بيَدِه لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى تَخرُجَ الظَّعِينةُ مِن الحِيرةِ حَتَّى تَطُوفَ بالبَيتِ فِي غَيرِ جِوارِ أَحَدٍ».
Al-Bukhari dan nan lainnya meriwayatkan dari Adi ibn Hatim, Rasulullah SAW berbicara kepadanya: “Kalau Anda berusia panjang, Anda bakal menyaksikan Zhaina, yakni, wanita nan musafir melakukan perjalanan dari wilayah Hirah sampai dia bertawaf di Ka’bah, dia tidak takut pada siapa pun selain Allah.”
Dalam riwayat Pemimpin Ahmad, “Demi Allah nan jiwaku dalam genggam-Nya, niscaya Allah bakal menyempurnakan keyakinan ini sampai seorang wanita berjalan dari Zhainah sampai bisa bertawaf di Baitullah tanpa ditemani seorang pun di sampingnya.”
Syekh Ali Jum’ah memahami bahwa sabda di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak mencela wanita nan berjalan sendirian tanpa mahram. Yakni ketika perjalanan itu ialah perjalanan nan kondusif bagi wanita.
Dengan demikian, larangan alias kebolehan melakukan berjalan bagi wanita sebagaimana disebut dalam sabda tergolong larangan nan mempunyai argumen kaidah nan logis (‘illat). Kalau argumen kaidah itu ada, maka kaidah larangan itu juga ada. Sebaliknya, kalau ‘illat nan menjadi argumen pelarangan itu tidak ada, maka larangan itu tidak beraksi dengan sendirinya.
Lantaran itu, tidak heran kalau para ustadz ajaran Maliki dan Syafi’i menyatakan boleh seorang wanita berjalan tanpa mahram ketika mereka berbareng perempuan-perempuan nan bisa dipercaya dan perihal itu beraksi dalam haji nan wajib.
Dasar para ustadz di atas ialah sebuah sabda nan menyebut bahwa para Ummahatul Mukminin pernah pergi haji, setelah Rasulullah SAW wafat, pada masa pemerintah Umar bin Khattab. Umar mengutus Usman bin Affan untuk menjaga mereka.
Syekh Ali Jumah mengatakan,
وكذلك نرى المالكية والشافعية يجيزون للمرأة السفر بدون محرم إذا كانت مع نساء ثقات أو رفقة مأمونة وكان ذلك في حج الفريضة؛ وقد استدلوا على ذلك بخروج أمهات المؤمنين رضي الله عنهن بعد وفاة رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم للحج في عهد عمر رضي الله عنه، وقد أرسل معهن عثمان بن عفان -رضي الله عنه- ليحافظ عليهن.
Kami juga memandang bahwa kaum Maliki dan Syafa’i mengizinkan wanita untuk berjalan tanpa mahram kalau mereka berbareng wanita nan dapat dipercaya alias sahabat nan kondusif, dan itu terjadi selama haji wajib, dan mereka menyimpulkan bahwa Ummahatul Mukminin keluar setelah wafatnya Rasulullah SAW untuk haji pada masa pemerintahan Umar, dan Utsman bin Affan nan diutus berbareng mereka untuk melindungi mereka.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Syekh Ali Jum’ah, wanita berjalan tanpa mahram dalam kondisi nan diyakini kondusif ialah boleh. Berangkat dari keterangan ini, kita bisa memandang bahwa Muslimah nan berangkat kerja sendiri tanpa diantar mahram ialah perkara nan diperbolehkan dalam keyakinan. Rasulullah SAW tidak mencela dan para sahabat telah mempraktikkan perihal tersebut, sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas.
Comment