Gadis keturunan Eropa di Lamno, tetap ada di beberapa desa seperti Kuala Energi, Ujung Muloh, Beulijong, Teumareum, hingga Lambeso
DuniaIslam | DI INFOMEDIA gugusan pantai barat Aceh nan tenang dan bersahaja, aku mendapati wajah-wajah nan mengusik rasa mau tahu—mata biru alias coklat keemasan, kulit terang, rambut pirang kemerahan, dan postur tinggi menjulang.
Bukan pengunjung aneh, melainkan masyarakat lokal, nan lahir dan besar di sini. Inilah masyarakat Lamno, Aceh Jaya.
Desa Lamno juga dikenal sebagai “Kampung Bule” lantaran penduduknya nan mempunyai karakteristik wujud khusus Eropa, seperti mata biru, kulit putih, dan rambut pirang.
Karakteristik ini bersumber dari keturunan Portugis nan menetap di daerah tersebut pada abad ke-14 hingga ke-16 dan menikah dengan masyarakat setempat.
“Kami orang Aceh original, tapi memang banyak dari kami punya darah Portugis,” tutur Bang Tarmizi, aktor penduduk setempat, sembari tersenyum. “Eyang aku sering bilang, kami ini cucu pelaut.”
Kisah ini bukan mitos alias dongeng masa lampau. Di beberapa desa seperti Kuala Energi, Ujung Muloh, Beulijong, Teumareum, hingga Lambeso, garis keturunan Eropa ini tetap kelihatan jelas.
Meskipun jumlahnya semakin menyusut, bekas sejarah itu statis hidup dalam pandangan mata nan tak lazim.
Fatimah, seorang remaja lokal, tersipu malu saat aku memuji warna matanya nan hazel kecoklatan. “Dari mini banyak nan manggil aku bule Aceh,” ujarnya. “Aku sih biasa aja, tapi kadang bingung juga mengapa beda.”
Mata Fatimah bukan hasil lensa kontak. Dia ialah peninggalan genetik dari masa lampau, dari sejarah besar nan tak banyak diketahui: perjumpaan pelaut Portugis dan penduduk Aceh.
Tak ada nan tahu pasti gimana keturunan mata biru itu ada di pedalaman desa di bawah kaki Gunung Geureute, Aceh Jaya.
Tidak semua masyarakat Lamno nan berharta di kecamatan Jaya, kabupaten Aceh Jaya mempunyai postur tinggi, berhidung mancung, berbulu pirang, berkulit putih dan bermata biru kecoklatan. Karakteristik khusus tersebut cuma dimiliki oleh masyarakat original Energi keturunan Portugis.
Wahidin, salah seorang penduduk desa Ujong Muloh nan memiliki darah keturunan Portugis menjelaskan organisasi si Mata Biru alias lebih dikenal dengan julukan bulek Lamno, sekarang sudah berkurang jumlahnya.
“Merupakan keturunan kedelapan lantaran dari orangtua kami ada nan kelima dan enam. Di kabupaten Aceh Jaya dan khususnya kecamatan Jaya dan ada lagi kecamatan Baru, namanya kecamatan Indra Jaya di situ terdapat beberapa desa nan dihuni oleh masyarakat keturunan Portugis nan pada abad ke-14 sampai ke-16 terdampar di wilayah kerajaan Energi,” cerita Wahidin.
“Penduduk dan kerajaan Energi menyandera tentara Portugis, lampau mereka menikah dengan orang-orang nan berharta di sekitar kerajaan Energi. Desa-desa nan menjadi pedoman keturunan Portugis penduduknya yakni desa Ujong Muloh, Kuala Energi, Gle Jong, Teumareum dan Lambeso, ini umumnya nyaris semua wanita dan laki-lakinya berciri khusus kulit putih, rambut pirang dan hidung mancung.”
Warisan dari Laut nan Membelah Global
Sejarah mencatat, sekitar abad ke-15 hingga 16, kapal-kapal Portugis nan berlayar menuju Melaka sempat tersesat dan mendarat di pesisir barat Aceh.
Dalam anotasi lokal, disebutkan bahwa para pelaut nan dipimpin Kapten Pinto menjalin korelasi dengan Kerajaan Marhum Energi. Setelah bentrokan dan perundingan, beberapa di antara mereka memeluk Islam, menikahi wanita lokal, dan menetap.
Dari percampuran adat itu, lahirlah generasi khas—penduduk lokal dengan karakteristik Kaukasoid: kulit terang, mata bening, rambut pirang, dan tinggi badan mencolok. Mereka dikenal sebagai kaum Porto, dan menjadi fragmen utuh dari degub hayat Lamno.
“Dahulu sebelum tsunami 2004, banyak sekali anak-anak bermata biru,” ujar Agam Bambang, pegiat wisata Aceh.
“Tapi kini mereka makin langka. Itulah mengapa Lamno sangat bernilai. Dia menyimpan sejarah hidup nan nyaris punah,” ujarnya.
Tsunami nan meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 bukan cuma menelan korban batin dan kekayaan barang. Dia juga menyapu bekas sejarah.
Banyak family keturunan Portugis nan lenyap, rumah-rumah mereka rata dengan tanah, dan sebagian besar pindah alias menikah dengan masyarakat luar desa, mengaburkan garis keturunan.
“Banyak nan dahulu punya mata biru. Kini cuma segelintir,” ungkap seorang pelatih SD setempat. “Anak-anak seperti Nurul dan Ratul mampu dihitung jari.”
Nama Nurul Hamarah dan Ratul Janah sempat menjadi sorotan nasional setelah program “On The Spot Trans7” mengadopsi kisah mereka.
Dua kakak-beradik ini duduk di kursi sekolah alas dan mempunyai mata coklat terang, kulit putih bersih, dan rambut kecoklatan.
Di antara teman-teman sekolah mereka, penampilan Nurul tampak seperti gadis mini dari Eropa nan tersesat di pelosok Aceh.
“Aku mau jadi ustazah,” kata Nurul dengan semangat, walau dia mengaku mengalami rabun jauh seperti kakaknya. Ibunya, wanita Aceh biasa, juga mengaku heran. “Family aku semua biasa, tapi anak-anak aku kok begini?” ujarnya polos.
Menjaga nan Tersisa
Salah satu pemuda Lamno lainnya, Adi, sekarang menjadi polisi di Banda Aceh. Dia punya rambut pirang dan mata coklat terang nan membuatnya sering dijuluki “bule” oleh teman-temannya.
“Aku pernah jadi model,” katanya, “tapi aku lebih demen dianggap biasa aja. Sampai pernah aku cat rambut agar nggak dibilang-dibilang terus.”
Pernyataan Adi mencerminkan dilema jiwa keturunan Portugis di Lamno: antara bangga atas sejarahnya, dan dambaan untuk menjadi fragmen dari penduduk tanpa dipandang berselisih.
Kecuali penampilan wujud, masyarakat Lamno juga mempunyai dialek khas nan berselisih dari bahasa Aceh pada umumnya—sebuah gejala bahwa percampuran adat di masa lampau tidak cuma terjadi secara wujud, tapi juga linguistik.
Sayangnya, hingga sekarang tak ada pengarsipan resmi, museum, alias perhatian pemerintah nan cukup untuk melestarikan warisan ini.
“Jika tidak segera dilindungi, cerita ini mampu lenyap begitu saja,” ujar Jacky, pemandu wisata lokal nan kerap menemani turis menyusuri bekas sejarah di Lamno.
Padahal, kata Jacky, Lamno tidak cuma menawarkan cerita mata biru. “Bicara Lamno itu bicara tentang sejarah globalisasi sebelum istilah itu ada,” ucapnya.
“Ini tentang pertemuan global Timur dan Barat dalam wujud paling manusiawi—pernikahan, family, cinta.”
Lamno bukan sekadar kampung eksotis. Dia ialah bukti bahwa sejarah besar mampu hidup di tempat mini. Dia ialah potret Indonesia—bermacam-macam, kompleks, dan bagus dalam keberbedaannya.
Lamno, Aceh Jaya—di sinilah mata biru terakhir itu tetap memperkuat. Di sinilah sejarah meminta untuk tak dilupakan.* dari beragam copyright
Comment