Cakrawala

Kurikulum Cinta, nan Tidak Buta

7
×

Kurikulum Cinta, nan Tidak Buta

Share this article
Kurikulum Cinta, nan Tidak Buta

Islam mengajarkan kurikum cinta tidak buta, Islam mengajarkan cinta lantaran Allah dan tidaksuka juga lantaran Allah 

InfoIslam | BELAKANGAN ini, wacana terkait Kurikulum Cinta tengah ramai diperbincangkan. Menteri Keyakinan, Nasaruddin Umar, mengungkapkan hajat implementasi kurikulum ini sebagai alternatif Kurikulum Merdeka.

Namun, apakah cinta nan dimaksud betul-betul mencerminkan prinsip cinta nan sebenarnya?  

Jikalau menengok ke belakang, tagline “Islam Cinta” alias “Islam Rahmah” sejatinya bukan perihal nan baru. Aktivitas ini kerap digaungkan oleh segelintir kalangan.

Sayangnya, tak jarang mereka nan mengusung semboyan cinta justru bertolak belakang dengan hakikat cinta dalam Islam. Mereka menampilkan wajah halus terhadap kekufuran, menjalin korelasi selaras dengan kolonialis Zionis, namun di saat nan sama, bersikap intoleran terhadap kerabat seiman.

Jikalau cinta nan mereka propagandakan melahirkan sikap lunak terhadap kebatilan, tetapi keras terhadap fakta, maka patut dipertanyakan, cinta macam apa nan dimaksudkan?

Islam: keyakinan cinta nan tidak buta

Islam memang mengajarkan cinta. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya kudu lebih diutamakan ketimbang cinta kepada apa pun di global ini.

Apalagi, kecintaan kepada kerabat seiman hingga menginginkan amal untuk mereka sebagaimana amal itu ada pada diri sendiri ialah fragmen dari kesempurnaan ketaatan.

Namun, Islam tidak cuma berbincang tentang cinta, Islam juga mengajarkan tidaksuka lantaran Allah. 

Jikalau cinta nan digaungkan bermakna merelakan kaidah Allah dikesampingkan, tunduk pada sekulerisme atas nama cinta, serta membiarkan kemungkaran merajalela demi semboyan semu, maka cinta semacam ini bukanlah cinta nan diridhai Allah.  

Seperti contohnya nan diungkapkan oleh Haidar Bagir dalam bukunya “Islam: The Faith of Love and Happiness”, dia menegaskan bahwa kaidah dan ideologi kudu tunduk kepada spiritualitas dan kasih sayang.

Paradigma ini, katanya, ialah satu-satunya langkah supaya Islam mempunyai masa depan nan bening dan membawa maslahat dan kedamaian.

Padahal, siapa nan lebih mengetahui maslahat bagi hamba-hamba-Nya kecuali Ar-Rahman?

Ketika hukum-Nya dikesampingkan dan diganti dengan patokan sekuler atas nama cinta, nan terjadi bukanlah kedamaian dan kesejahteraan, melainkan kerusakan dan kesenjangan di beragam bagian global.

Cinta dan tidaksuka lantaran Allah

Islam tidak cuma mengajarkan cinta, tetapi juga membimbing umatnya untuk membenci segala wujud kemungkaran. Rasulullah ﷺ berfirman nan artinya; “Barangsiapa di antara kalian memandang kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jikalau tidak berkecukupan, maka dengan lisannya. Jikalau tidak berkecukupan juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya ketaatan.” (HR. Muslim) 

Para ustadz telah sepakat bahwa membenci kemungkaran ialah tanggungjawab. Pemimpin An-Nawawi dalam “Syarah Shahih Muslim” mengklaim: 

 أجمع العلماء على أن ووجبت كراهته بقلبه

“Para ustadz sepakat bahwa wajibnya membenci kemungkaran dengan hati.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, XII/230)

Pemimpin Asy-Syafi’i pun pernah berbicara dengan ungkapan nan sangat masyhur: 

“Saya mencintai orang-orang shalih, meskipun saya bukan termasuk di antara mereka. Semoga berbareng mereka saya mampu mendapatkan syafa’at nanti. Saya membenci para pelaku maksiat, meskipun saya tak berselisih dengan mereka.”

Pertanyaannya, apakah beragam “Aktivitas Islam Cinta” itu betul-betul berdasarkan Islam, alias justru merestui sekulerisme dengan dalih cinta?

Apakah “Kurikulum Cinta” nan bakal diterapkan merupakan wujud cinta nan sejati, alias justru cinta semu nan memposisikan ketundukan pada ideologi sekuler? 

Kita tunggu rumusannya, walau jikalau berfikir lebih mendalam dan bercermin pada kenyataan selama ini, maka dapat sedikit terbaca arahnya kemana.

Jikalau nan terjadi ialah penyelundupan nilai-nilai sekulerisme dan derivasinya dalam kedok cinta kepada peserta didik, maka tanggungjawab kita tentu ialah saling menasihati.

Ini ialah bentuk cinta dan kepedulian nan sebenarnya kepada peserta didik, kepada pemangku kebijakan, dan kepada negara ini.

Allah Swt bersabda: 

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: Jikalau Anda betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah saya (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan memaafkan dosa-dosamu. Allah Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Wallahu A’lam.* 

Pewarta dosen Pendidikan Keyakinan Islam

Comment