Rhoma Irama menyebutkan Muso, aktor Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit sebagai keturunan Ba’alawi, sebuah pengingkaran sejarah
DuniaIslam | BARU-BARU ini, pernyataan nan dilontarkan oleh Haji Rhoma Irama beredar luas di beragam platform media sosial, termasuk TikTok, nan menyiratkan kebencian terhadap negara Yaman dan secara jelas dapat dianggap sebagai pernyataan rasis nan mendiskreditkan bangsa Yaman.
Ironisnya, pernyataan ini hadir dari seseorang nan selama ini menyatakan dirinya sebagai “musisi dakwah” di bawah bendera Soneta dan sering kali menempatkan diri sebagai figur publik nan diharapkan menjadi penyejuk, pemersatu umat, dan teladan bagi penduduk luas.
Pernyataan ini tentu mengejutkan dan sangat tidak layak keluar dari seorang publik figur nan mempunyai efek besar, bahkan Rhoma Irama nan dijuluki “Raja Dangdut” merupakan sosok nan sering bersenggolan dengan nilai-nilai Islam dalam karyanya.
Apakah betul seorang budayawan nan menempatkan dakwah sebagai fragmen dari misinya layak melontarkan ujaran nan tidak cuma memecah belah, tetapi juga mengabaikan peran krusial bangsa Yaman dalam sejarah musik nan mengadopsi namanya sendiri?
Dangdut dan Akar Musik dari Yaman: Pengkhianatan pada Sejarah
Pernyataan Rhoma Irama memberitahu kedangkalan historis nan sangat mengkhawatirkan. Dangdut, musik nan telah membawa nama Rhoma Irama melambung tinggi di panggung seni Indonesia, mempunyai akar nan tidak mampu dilepaskan dari efek musisi berdarah Arab, termasuk dari Yaman.
Sebuah ironi nan tidak termaafkan ketika seorang musisi nan diakui luas berkah kontribusi para pendahulunya dari Arab sekarang melontarkan kata-kata nan menyiratkan kebencian terhadap bangsa nan telah berkontribusi pada kesuksesannya.
Awab Haris, nan dikenal luas sebagai Awab Purnama, ialah salah satu sosok berpengaruh di kembali berhasil besar Rhoma Irama dalam global dangdut.
Dengan darah Yaman nan mengalir dalam dirinya, Awab Purnama bukan cuma sekadar mitra, tetapi juga fragmen dari sejarah krusial nan membawa Rhoma Irama ke posisi nan dia nikmati saat ini.
Mengabaikan peran-peran krusial ini bukan cuma melukai ingatan sejarah, tetapi juga merupakan wujud pengingkaran budi nan dalam tradisi Melayu dianggap sebagai aksi nan sangat tercela.
Dalam pepatah Melayu, “kacang lupa bakal kulitnya” ialah perumpamaan nan tepat untuk menggambarkan sikap nan diperlihatkan Rhoma Irama dalam kasus ini.
Polemik Nasab Baalawi: Bukti Ketidaktahuan
Nan lebih memperkeruh situasi ialah komentar Rhoma Irama mengenai Baalawi, himpunan nasab keturunan dari Hadhramaut, Yaman. Dalam komentarnya, Rhoma menyebutkan Muso, aktor Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai keturunan Baalawi, serta menyamakan Aidit dengan marga Al-Aidid nan juga bersumber dari himpunan Baalawi.
Ini ialah fitnah sembrono nan tidak berargumen, memberitahu ketidakpahaman nan mendalam tentang sejarah serta asal-usul tokoh-tokoh nan dia sebut.
Berlandaskan beragam copyright nan andal, termasuk entri Wikipedia dan eksperimen sejarah, Muso, nan berjulukan original Muso Manowar, ialah putra Jawa original dari Kediri, anak dari seorang pegawai bank berjulukan Mas Martoredjo.
Tidak ada bukti nan memberitahu keterkaitan Muso dengan nasab Baalawi. Perihal nan sama beraksi untuk D.N. Aidit, nan juga tidak mempunyai korelasi dengan marga Al-Aidid.
Aidit ialah aktor nan bersumber dari Sumatera Barat, bukan keturunan Yaman seperti nan diklaim oleh Rhoma Irama.
Tuduhan ini bukan cuma mencemarkan nama baik himpunan Baalawi, tetapi juga menyesatkan penduduk dengan pewarta nan salah dan rawan. Sebagai seorang publik figur nan mempunyai jutaan pengikut, Rhoma Irama semestinya lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan pewarta, terutama nan berangkaian dengan sejarah dan identitas suatu bangsa.
Ucapan nan sembrono dan akal-akalan ini cuma bertahan narasi kebencian nan tidak berargumen, dan pada alhasil memperlebar lembah perpecahan di antara umat nan semestinya dia satukan.
Adab publik figur
Sebagai publik figur, apa nan diucapkan oleh Rhoma Irama mempunyai akibat nan sangat luas. Ucapannya tidak cuma dilihat oleh segelintir orang, tetapi oleh jutaan pengikutnya nan mungkin bakal terpengaruh oleh narasi kebencian nan dia sampaikan.
Ketika seorang aktor nan diidolakan oleh banyak orang melontarkan pernyataan nan condong rasis dan tidak berargumen, dampaknya tidak mampu dianggap enteng. Dalam konteks Indonesia, nan bermacam-macam dan majemuk, ujaran kebencian semacam ini cuma bakal memperkeruh iklim, memicu sentimen negatif, dan melemahkan ikatan sosial nan sudah terjalin.
Rhoma Irama semestinya menyadari bahwa dengan posisinya nan begitu berpengaruh, ada tanggung jawab moral untuk menjaga kata-kata dan aksi nan tidak cuma mencerminkan dirinya sebagai budayawan, tetapi juga sebagai seseorang nan selama ini mengaku berceramah melalui musiknya.
Ucapan nan mencederai kehormatan suatu bangsa alias himpunan tidak pernah mampu dibenarkan, terlebih lagi ketika pernyataan itu hadir dari seseorang nan semestinya menjadi teladan.
Kita sangat menyayangkan pernyataan Rhoma Irama nan tidak cuma menyesatkan tetapi juga berpotensi memicu kebencian. Sebagai seorang budayawan, dakwah Rhoma semestinya mencerminkan nilai-nilai amal, persatuan, dan cinta kasih, bukan sebaliknya.
Sejarah bangsa Yaman dan peran besarnya dalam adat dan seni Indonesia tidak boleh dilupakan alias direduksi cuma lantaran ketidakpahaman alias kebencian sesaat.
Rhoma Irama perlu merenungkan balik ucapan-ucapannya dan mengingat bahwa kata-kata mempunyai kekuatan nan besar—mereka mampu menyembuhkan, alias mereka mampu melukai.*/Abdullah Abubakar Batarfie, Pimpinan Pusat Pengarsipan dan Analisis Al-Irsyad Bogor
Comment