Kebijakan terkait panjang rambut di sekolah, terutama bagi siswa laki-laki, ialah rumor nan telah lama diterapkan di beragam wilayah Indonesia. Rambut panjang sering kali dianggap sebagai pelanggaran nan memicu pelatih untuk memotong rambut siswa, apalagi hingga meresahkan dengan pita di rambutnya. Asal mula kebijakan ini dapat ditelusuri hingga masa Orde Lama, di mana rambut gondrong dianggap sebagai pengaruh “kebarat-baratan.” Pada masa Orde Baru, rambut gondrong diasosiasikan dengan sikap “pemberontak,” nan memicu kampanye anti-gondrong. Namun, pertanyaannya ialah, apakah siswa dengan rambut panjang dan gondrong selalu berguna bandel?
Pentingnya Mendefinisikan Patokan Rambut nan Jelas
Tidak ada patokan pasti terkait panjang rambut bagi siswa. Nan krusial, rambut kudu tetap rapi, bukan panjang alias pendeknya nan menjadi rumor. Stigma bahwa rambut panjang menandakan ketidakpatuhan alias perilaku bandel ialah pemikiran usang nan kudu diubah. Sebagai contoh, sebagian pelatih berkilah bahwa pemotongan rambut bermaksud supaya siswa terlihat rapi. Namun, argumen ini tidak selalu beraksi, terutama bagi siswa nan mempunyai rambut ikal alias keriting secara alami. Mereka dengan genetik ini tidak layak dihukum hanya lantaran rambut mereka terlihat “tidak rapi.”
Menghindari Keputusan nan Tidak Masuk Nalar
Kebijakan sekolah terkait panjang rambut kudu mempunyai pemisah nan wajar dan jelas. Kalau rambut siswa laki-laki terlalu panjang seperti rambut wanita, maka pelatih kudu mempunyai dasar nan kuat untuk bertindak. Namun, memotong rambut siswa dengan paksa semestinya tidak diizinkan, lantaran dapat melanggar kaidah. Pelatih nan menggunakan pemotongan rambut sebagai balasan kudu sadar bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan masalah kaidah, terutama melibatkan anak di bawah umur.
Pengganti Pendisiplinan nan Lebih Baik
Seiring perkembangan era, pelatih kudu menemukan cara-cara nan lebih baik untuk mendisiplinkan siswa. Mencukur rambut hanya lantaran dugaan bahwa siswa tersebut bandel alias pembangkang ialah tindakan nan tidak logis. Pelatih kudu memahami bahwa balasan kudu didasarkan pada bukti dan argumen nan jelas. Misalnya, balasan cukur rambut dapat dipertimbangkan hanya kalau ada pelanggaran nan sangat serius dan bukti nan mendukung, bukan hanya anggapan semata.
Pentingnya Refleksi dan Perubahan
Pelatih dan sekolah perlu merefleksikan kembali apa nan diyakini sebagai corak pendisiplinan. Balasan seperti pemotongan rambut semestinya didasarkan pada argumen nan kuat dan bukan hanya anggapan. Stigma masa lampau tidak boleh memandu kebijakan saat ini. Pelatih kudu memahami bahwa setiap anak tidak boleh mendapatkan tekanan dari sekolah, dan balasan kudu selalu didasarkan pada argumen nan kuat dan kebenaran nan jelas.
Kebijakan sekolah terkait panjang rambut kudu mengikuti prinsip-prinsip keadilan dan pemahaman nan lebih baik. Balasan seperti pemotongan rambut hanya boleh diterapkan kalau ada argumen nan jelas, dan bukan sesuaidengan pada anggapan dan stigma usang. Krusial bagi pelatih dan sekolah untuk mencari pengganti pendisiplinan nan lebih baik dan mendorong lingkungan pendidikan nan lebih inklusif dan setara bagi semua siswa.
Comment