Cakrawala

Pantangan Menyebarkan Rahasia Ranjang antara Suami-Istri

2
×

Pantangan Menyebarkan Rahasia Ranjang antara Suami-Istri

Share this article
Pantangan Menyebarkan Rahasia Ranjang antara Suami-Istri

Teks Sabda

Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman,

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

“Sesungguhnya manusia nan paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari hariakhir adalah seseorang nan menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia (ranjang) mereka.” (HR. Muslim no. 1437)

Kandungan Sabda

Kandungan pertama

Sabda ini merupakan dalil dilarangnya seorang suami menyebarkan alias menceritakan rahasia ranjang dengan istrinya, menceritakan apa nan terjadi antara ia dengan istrinya mengenai jimak (korelasi badan), alias mendeskripsikannya dengan perincian, misalnya dengan menceritakan ucapan alias perbuatan istrinya saat jimak, dan semacam itu. Demikian pula sebaliknya, istri juga dilarang. Perihal ini lantaran antara cowok dan wanita itu sama dalam syariat hukum, selain ada dalil nan mengkhususkannya.

Sabda ini dikuatkan oleh sabda dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha. Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha berbicara bahwa ia pernah berharta di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara para laki-laki dan perempuan sedang duduk-duduk di dekatnya. Lampau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman,

لَعَلَّ رَجُلًا يَقُولُ مَا يَفْعَلُ بِأَهْلِهِ، وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ بِمَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا

“Mungkin ada seorang laki-laki nan menceritakan apa nan dilakukan berbareng istrinya, dan mungkin juga ada seorang perempuan nan menceritakan apa nan dilakukan berbareng suaminya.”

Orang-orang pun takbersuara membisu. Saya (Asma’) berbicara, “Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka melakukannya dan mereka mengatakannya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman,

فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا مِثْلُ ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانُ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

“Jangan lakukan itu, lantaran perihal tersebut seperti iblis cowok berjumpa dengan iblis wanita di jalan, lampau ia menyetubuhinya, sementara orang-orang melihatnya.” (HR. Ahmad, 45: 564-565, namun sanadnya dinilai dha’if oleh Syekh Syu’kejelekan Al-Arnauth)

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berbicara, “Sabda (histori Muslim) ini mempunyai penguat, meskipun tidak lepas dari pembicaraan (tentang status kesahihannya), bakal tetapi secara keseluruhan saling menguatkan satu sama lain.” (Minhatul ‘Allam, 7: 338)

Dalil terlarangnya perihal tersebut dapat ditinjau dari dua sisi:

Pertama: pelakunya disifati sebagai manusia nan paling buruk kedudukannya di sisi Allah Ta’ala pada hari hariakhir.

Kedua: pelakunya disifati sebagai iblis cowok dan iblis wanita, nan memberitahu bahwa perbuatan tersebut ialah adab nan jelek dan tidak tahu malu. Sedangkan orang nan bijaksana (bernalar), mereka tentu bakal menggunakan waktunya dalam iman kepada Allah Ta’ala, cuma berbincang dalam perkara nan ada faidahnya, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan nan mendatangkan balasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Siapa saja nan beribadah kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbincang nan baik alias takbersuara.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Lihat juga: Orang Tua Ikut Kombinasi Urusan Rumah Tangga?

Kandungan kedua

Dalam pantangan tersebut, terkandung beberapa hikmah nan nyata, antara lain:

Pertama: mendidik suami-istri untuk menjaga rahasia di antara mereka berdua, masing-masing di antara mereka berdua sama-sama menjaga apa nan terjadi di antara keduanya.

Kedua: menjaga lisan dari ucapan nan sia-sia dan tidak ada faidahnya.

Ketiga: penjagaan hukum Islam terhadap rumah tangga dari sebab-sebab nan menyebabkan kerusakan dan kehancuran.

Keempat: motivasi untuk memperlakukan pasangan dengan baik, dan menjauhkan diri dari perbuatan nan jelek kepada pasangan.

Kandungan ketiga

Para ustadz menyebut bahwa jikalau ada kebutuhan untuk menyebut jimak alias jikalau memang ada khasiat, maka perihal itu diperbolehkan sesuai dengan kadar kebutuhannya. Misalnya, untuk menceritakan kondisi nan terjadi di antara suami-istri tersebut kepada pengadil pengadilan, meminta fatwa, alias dalam rangka berobat.

Di antara dalilnya ialah sabda dari bunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, nan mengisahkan istri dari Rifa’ah nan dicerai oleh Rifa’ah, kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin Zubair Al-Qardhi radhiyallahu ‘anhu. Istri Rifa’ah tersebut menyatakan bahwa Abdurrahman bin Zubair itu lemah dalam jimak (impoten). Istri Rifa’ah berbicara,

وَاللَّهِ مَا مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ الْهُدْبَةِ وَأَخَذَتْ بِهُدْبَةٍ مِنْ جِلْبَابِهَا

“Demi Allah, sesungguhnya anunya seperti ujung kain (maksudnya impoten)”; ia memperagakan dengan memegang ujung jilbabnya.

Abdurrahman bin Zubair radhiyallahu ‘anhu berbicara,

كَذَبَتْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأَنْفُضُهَا نَفْضَ الْأَدِيمِ وَلَكِنَّهَا نَاشِزٌ

“Demi Allah, dia bohong wahai Rasulullah, sesungguhnya saya dapat ‘menggoyangnya seperti goncangnya dunia’ (maksudnya, memuaskannya di ranjang), bakal tetapi dia melakukan nusyuz (membangkang terhadap perintah suami).” (HR. Bukhari no. 5825 dan Muslim no. 1433)

Contoh lainnya ialah sabda dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika menceritakan kisah Abu Thalhah berbareng istrinya, Ummu Sulaim. Dalam kisah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Thalhah,

أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَةَ

“Apakah kalian sudah menjadi pengantin semalaman?” (maksudnya, apakah malam itu Abu Thalhah bersetubuh dengan Ummu Sulaim?)

Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا

“Ya Allah, berkatilah mereka berdua.” Kemudian Ummu Sulaim melahirkan seorang anak. (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144)

Contoh lainnya, dari bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berbicara, “Seorang cowok bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seseorang nan menyetubuhi istrinya, namun tidak keluar air mani, apakah keduanya wajib mandi? Aisyah saat itu duduk berbareng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman,

إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ

“Saya sendiri pernah berbuat perihal itu dengan perempuan ini, kemudian kami mandi.” (HR. Muslim no. 350)

Demikian bahasan ini, semoga berfaedah.

Lihat juga: Wahai Muslimah, Jagalah “Zinah”-mu!

***

@24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024

Pewarta: M. Saifudin Pengadil

Tulisan: Infomedia

 

Anotasi kaki:

Disarikan dari buku Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 337-340).



Comment